LUDRUK MARHAEN, WHERE ARE YOU. . . ? ? ?
Keseniaan apapun namanya, akan menghinggapi
kalbu setiap insan. Dari meniup seruling bambu, menirukan lagu-lagu pop yang
populer saat tertentu, hingga serampang 12 pernah kuikuti. Belakangan hari,
sebelum saya benar-benar jompo, tinggal
satu seni yang aku dapat mengikuti latihannya, yaitu seni memukul bola tennis.
Tetapi dari sekian banyak jenis kesenian itu,
kini ada yang hampir punah, atau bahkan telah benar2 punah.LUDRUK...!
Aku memilih seni Ludruk ini menjadi bahan
tulisan pendek, karena pagi ini +/- pk 07.00 kubuat status di facebook, yang
menyangkut Seni Ludruk, Ketoprak Siswo-Budoyo, Film Tiga Dara th 1957 dan
Ketoprak Mataram dengan Cokro-Jiyo nya.
Ludruk adalah kesenian rakyat, seni pentas
yang amat dekat dengan kehidupan rakyat kecil. Terutama warga Jawa Timur,
kesenian ini bukan sesuatu yang asing. Disukai karena disamping adegan lawak
yang tidak ada putusnya pada semua adegan, juga seolah-olah semua lawakan itu
berada didalam hardisk yang tersimpan pada kepala masing-masing pemeran.
Sisi lainnya, Ludruk menjadi semacam alat
komunikasi. Terutama pada masa sebelum dan setelah proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia. Mengapa demikian ?
Ludruk didalam pagelaran baik secara indoor
dan outdoor, selalu menyampaikan kabar baru mengenai cerita dari medan palagan
melawan tentara Jepang ataupun Sekutu, yang membawa Belanda kembali ke
Indonesia.
Dalam setiap pementasan selalu ada menyebut
tokoh dari medan palagan tertentu, namun selalu disamarkan. Bagi para penonton yang mengetahui peristiwanya, atau
bahkan ikut terlibat didalam palagan itu, boleh jadi tertawa karena kemasan
lawaknya. Tetapi tidak jarang ada yang meneteskan air mata. Apalagi jika
ditampilkan adegan seorang isteri bersama anaknya, yang sedang bertanya-tanya
kepada para tentara Indonesia saat itu, kemana si A atau B.
Jika semua tentara telah ditanya dan tak ada
satupun yang tau, bisa dipastikan sang
suami telah tewas dimedan palagan. Adegan berikutnya, si Ibu dengan
anaknya pingsan dipinggir jalan. Nah....sampai disini Anda jangan ikut
menangis. Karena si Ibu diperankan oleh tokoh pria yang dipoles seperti ibu
yang cantik dengan bayinya. Dan bayinya hanya sebuah boneka.
Yang ketiga, rumah saya hanya berjarak 25 Km
dari gudangnya para seniman Ludruk. Sebuah kampung yang berada di Kota Jombang,
Jawa Timur. Saya tak tau persisnya. Begitu dekatnya, namun tidak juga saya tau
bagaimana kelanjutan hidup matinya Ludruk.
Dalam sebuah pementasannya, masih saya ingat
ada sebuah kampung bernama “Jelak”. Saya nonton pementasan Ludruk ini pada th
1955, dalam acara perkawinan sebuah keluarga disana dengan tokoh utamanya
bernama “BOWO”.
Panggungnya terbuka dengan tangga naik
terbuat dari bambu. Asmuni tokoh Srimulat, pernah menyebut kata “Diweg”. Saya
juga pernah lewat dikampung ini, tetapi tetap saja tidak tau, dimana pusat
kesenian Ludruk itu dimulai. Pak Asmuni ini juga tokoh seniman dari Jombang.
Jika Anda naik mobil dari Mojokerto ke Jombang, disebelah kiri jalan ada rumah
makan Asmuni, disekitar wilayah Brangkal.
Tahun 1959 masih menyaksikan pentas Ludruk
Marhaen di Kota Probolinggo, dengan judul ceritanya “KUNANTI DI JOGJA”. Inilah
kisa seram dan mengharukan yang saya singgung sedikit diatas. Begitu layar
ditutup dan lampu gedung dinyalakan, terlihat banyak yang mengusap air mata.
Begitu hebatnya Ludruk Marhaen mempengaruhi sisi bathin para penontonnya.
Emosi para penonton diaduk-aduk dengan
heroiknya para tentara dalam menerima perintah komandannya, meskipun itu
taruhannya nyawa melayang. Tidak ada sedikitpun menolak perintah, walau harus
mati. Apa arti hidup ini jika teman-teman seprofesi sudah banyak yang gugur.
Begitu kira-kira pikiran setiap prajurit waktu itu. Dan kenyataannya, setelah
merdeka banyak kawan yang tak akan pernah dijumpainya lagi.
Belum lagi cerita atau adegan isteri
kehilangan suami, perawat kehilangan kekasih dan akhirnya malah ikut angkat
senjata bela-pati untuk kekasih tercinta. Adegan seorang ibu yang menyusup
kekota, dengan membawa dagangan berupa nasi, namun juga membawa senapan
otomatis dibawah bakul nasinya. Semua itu demi perjuangan sekaligus bela-pati
untuk negeri tercinta. What about us ?
Sudahlah....,pengorbanan kita kini, tak akan
pernah setara dengan pengorbanan mereka. Mereka pantas mendapat surga. Karena
mereka berjuang tanpa pamrih.
Di era tahun 1970an masih ada Ludruk RRI
Surabaya dengan tokoh “Rukun, Meler, Markuwat, Fatolah Akbar”. Di tahun 1980an
masih ada Ludruk “Gema Tribrata”.
Ketika saya berada di Kalimantan, Sumatra dan
di Jakarta..., sungguh mati saya tidak tau, apa dan dari mana kata TRIBRATA itu
berasal. Kata itu, terpampang megah disebuah kampus SPN, yang hanya 3 – 4 Km
saja dari rumah saya.
Kini ditahun 2000an, saya telah selesai
menjalankan kewajiban saya sebagai PNS yang berjanji “bersedia ditempatkan
diseluruh wilayah Indonesia”. Tinggal dirumah ndeso dengan bubungan atap yang
meliuk-liuk seperti cacing kepanasan. Tetapi kini telah diperbaiki, jangan
kawatir.
Sebagai penutup, saya tetap bertanya dalam
hati : “LUDRUK... WHERE ARE YOU...., NOW
?”. 08/05/2017 13:38:32
Komentar
Posting Komentar