Prap, kamu Ibu naikkan ke Klas 2.
Sejak pukul 01.55 dini hari Hari Selasa tanggal 22 Pebruari 2011, aku tak lagi dapat tidur. Udara mulai terasa panas, kipas angin sudah tak berguna sebagai alat pendinginan. Akhirnya aku bangun dan teringat sesuatu yang belum kuselesaikan. Motto-ku tetap seperti semula, aku akan tetap menuliskan apa-apa yang masih ada dalam ingatanku ketika dulu aku masih seorang anak remaja.
Mata pelajaran di sekolah umum Tingkat Atas sejak Klas 1 lumayan banyak, kurang lebih ada 13 – 14 macam. Dalam kondisi yang demikian, sekarang atau jaman dulu sekalipun, seharusnya yang disebut siswa atau anak didik harus mempunyai banyak buku sebagai bentuk kemudahan dalam belajar. Jika hal ini dapat dicapai oleh para siswa, maka setidaknya akan menutup kekurangan informasi dari para Guru tatkala mereka belajar di Klas.
Keterangan dari Guru, Rumus, gambar percobaan IPA yang tidak dipahami atau terlewatkan dapat ditutup dengan membaca dirumah, dan berulang kali. Itulah ideal-nya.
Tetapi ternyata, hingga sekarangpun pada jaman internet, fasilitas itu tidak mudah didapatkan. Banyak yang mengenal Internet bukan untuk belajar. Sementara di sisi lain ada yang tidak dapat belajar karena tak sanggup memiliki fasilitas belajar. Cerita seperti inilah yang sempat menyentuh masa belajarku ketika di SLTA.
Sejak pelajaran awal dimulai telah kelihatan bahwa belajar di SLTA jauh lebih berat dari pada di SLTP, itu pasti. Makin banyak bahan pelajaran menuntut siswa belajar lebih giat. Tetapi semua itu bagiku sungguh bukan hal yang mudah, hingga pada suatu hari saat akan kenaikan ke Klas 2 terjadilah cerita nyata ini.
Pokok ceritanya adalah, seorang Ibu Guru yang mengajarkan Bahasa Jerman di sekolahku telah memanggilku. Pada pertemuan itu, beliau berkata bahwa nanti sore aku harus ke rumah beliau. Semula aku tidak tahu apa keperluannya. Dan begitu aku telah sampai ke tempat tinggal beliau itu lalu dipersilakan masuk, persoalannya menjadi jelas. Saat itu saya diberi soal ujian Bahasa Jerman yang lain dari pada yang diujikan di sekolah, untuk dikerjakan guna menutupi kekurangan nilai.
Aku tetap mengerjakan, tetapi apa yang dapat membantu diriku untuk mendapatkan nilai baik? Buku apapun yang berkaitan dengan pelajaran yang Ibu Guru berikan kepadaku, tidak satupun yang dapat kumiliki. Jika kubandingkan dengan harga beras saat itu adalah, harga 1 Kg beras Rp.60,- (enam puluh rupiah) dan tidak semua orang dapat membeli dengan harga tersebut. Sementara itu, harga buku pelajaraan Bahasa Jerman yang berjudul “Deutsche Sprachlehre” dengan cover warna kuning dengan huruf “D” besar berwarna merah, adalah Rp.700,- (tujuh ratus rupiah). Aku tidak sanggup membelinya.
Setelah waktu yang ditentukan untuk mengerjakan soal itu berakhir, Ibu tersebut mengambilnya dan memperhatikan jawaban-jawaban yang kubuat, dan aku menunggu dengan saraf tegang. Aku hampir dapat memastikan bahwa beliau akan kecewa, lalu akan mendapatkan nilai yang buruk karena kesempatan itu tidak juga dapat membantuku.
Lama beliau menimang-nimang kertas hasil ujianku tersebut. Seolah-olah beliau ingin menyelami dan mengetahui apa-apa yang ada di balik keburukan hasil ujianku tersebut. Namun “Tak Sepatah Kata-pun” beliau tanyakan kepadaku, hingga akhirnya beliau membolehkan aku pulang dengan sebuah kalimat yang selalu kuingat kemanapun aku pergi.
Beliau mengatakan “Prap, kamu Ibu naikkan ke Klas 2. Tetapi nanti kamu harus belajar lebih rajin”.
Perasaanku yang semula telah berada di pinggir jurang kehancuran itu, tiba-tiba berubah. Aku seakan dapat terbang melayang tinggi di awan, namun aku tak berani memperlihatkan luapan kegembiraan itu kepada beliau karena masih ada janji yang harus ditepati, yaitu “Belajar Lebih Rajin”.
DAN BAGIKU,KALIMAT BELIAU DI ATAS BAK AIR ES YANG AMAT SEJUK, MERESAP KE DALAM JIWAKU DAN DAPAT MENYEJUKKAN DIRIKU HINGGA KE UJUNG-UJUNG SARAF YANG KUMILIKI.
Aku telah naik ke Klas 2, meskipun hanya Klas 2 Sos (istilah jurusan IPS saat itu).
Kejadian ini, atau cerita ini aku bawa kemana aku pergi setelah aku terlepas dari bangku SLTA. Bahkan, aku sama sekali tidak sempat menemui Ibu Guru tersebut hanya untuk mengucapkan kata “Terima Kasih”.
Aku tidak tahu apakah beliau kembali lagi ke SLTA-ku dulu dan mengajar lagi di sana hingga waktu pensiun tiba, atau entah bagaimana? Tetapi kini aku dapat bersyukur, aku telah dapat mengucapkan rasa terima kasihku kepada beliau. Mungkin tidak berupa kata-kata, tetapi aku sering mengunjungi beliau dengan membawakan sedikit buah-buah segar, dan bercerita kepada Beliau bagaimana aku dulu dapat naik ke Klas 2.
Tahukan Anda kapan aku dapat menunjukkan rasa terima kasihku pada Ibu Guru tersebut? – Aku baru dapat menjumpai beliau setelah 44 tahun keluar dari SMA-ku. Hal itu terjadi karena sejak awal aku bekerja, selalu berada di luar Pulau Jawa, dan baru 3 tahun menjelang aku pensiun aku dapat kembali. Itupun tidak di Jawa Timur, melainkan di Jakarta.
Beliau adalah Ibu Sumirah, pengajar Bahasa Jerman di sekolah-ku dulu, hingga dalam hatiku beliau Bak Ibu Kedua-ku karena perhatiannya yang amat besar kepadaku. Terima Kasih Ibuku.
Mojokerto, 22 Pebruari 2011, jam 01.55.
Komentar
Posting Komentar